Opini

Tragedi Ibu dan Bayi Meninggal, Alarm Keras Kegagalan Sistem Kesehatan

×

Tragedi Ibu dan Bayi Meninggal, Alarm Keras Kegagalan Sistem Kesehatan

Sebarkan artikel ini
Nur Octafian NL. S.Tr Gz.

Oleh : Nur Octafian NL. S.Tr Gz.

OPINI (SULTRAAKTUAL.ID) – Dilansir detikSulsel, Minggu (23/11/2025), Irene dan bayinya dinyatakan meninggal dalam perjalanan bolak-balik menuju RSUD Dok II Jayapura setelah ditolak beberapa rumah sakit pada Senin (17/11), sekitar pukul 05.00 WIT. Irene merupakan warga Kampung Hobong, Distrik Sentani, Jayapura.

Kematian ibu dan bayi dalam kandungannya setelah berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya di Jayapura bukan sekadar peristiwa tragis. Ini adalah cermin retak dari sistem pelayanan kesehatan yang selama ini dibanggakan. Dalam kondisi kritis, Irene seharusnya mendapatkan penanganan cepat dan tepat. Namun yang terjadi justru sebaliknya, empat rumah sakit tidak memberikan layanan medis memadai hingga akhirnya nyawanya melayang.

Lebih memilukan, kasus seperti ini bukan yang pertama. Penolakan pasien terutama ibu hamil juga sering terjadi di berbagai daerah. Dan setiap tragedi ditutup dengan permintaan maaf, pembentukan tim audit, dan janji pembenahan. Namun siklusnya terus berulang, menunjukkan bahwa persoalannya bukan selalu pada kelalaian teknis, melainkan bertumpu pada kegagalan sistemik yang sudah lama diabaikan.

Tragedi Irene Sokoy adalah alarm keras bahwa pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme telah gagal memberikan rasa tenteram, aman, dan sejahtera pada umat.

Salah satu akar persoalan adalah orientasi pengelolaan layanan kesehatan yang kian terjebak dalam logika komersial. Hal ini karena sistem sekuler kapitalisme yang telah lama bercokol di negeri ini menjadikan motif pelayanan kesehatan sebagai motif bisnis materialistik. Negara hanya berperan sebagai perantara bagi penyedia layanan kesehatan untuk dijual kepada rakyatnya.

Rumah sakit beroperasi dengan paradigma efisiensi dan profit. Dari sini otomatis prioritas kemanusiaan tergeser oleh pertimbangan administratif dan finansial. Tidak heran situasi seperti ini dapat menciptakan ruang bagi terjadinya penolakan terhadap pasien yang membutuhkan pelayanan mendesak, tetapi tidak segera dianggap “layak” dalam kacamata birokratis.

Di sisi lain, lemahnya pengawasan negara membuat fasilitas kesehatan dapat beroperasi tanpa akuntabilitas kuat. Regulasi tentang kewajiban pelayanan darurat memang ada, tetapi implementasi dan penegakkannya kerap tidak konsisten. Akhirnya, rakyat yang berada pada posisi paling rentan seperti ibu hamil, masyarakat miskin, atau warga di daerah terpencil yang kesulitan akses menjadi korban berulang.

Jika melihat kilas balik sejarah tata kelola kesehatan dalam peradaban Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh atas layanan kesehatan rakyatnya. Rumah sakit pada masa itu berfungsi sebagai lembaga pelayanan sosial, keberadaannya bukan sebagai entitas ekonomi. Layanannya bersifat merata bagi semua orang tanpa diskriminasi dan memandang status sosial, ras, suku, atau agama.

Selain itu di peroleh gratis serta berkualitas dan tidak mengenal penolakan, sebab negara bertanggung jawab penuh termasuk dalam hal pembiayaannya yang di ambil langsung melalui Baitul Mal. Kesehatan diposisikan sebagai kebutuhan mendasar umat, bukan barang dagangan yang mengikuti logika pasar. Ketika negara berlepas tangan atau mengabaikan hak-hak rakyat maka itu merupakan sebuah kedzaliman.

Realitas kesehatan kapitalis jelas sangat berbeda dengan layanan kesehatan dalam Islam. Dimana negara benar-benar hadir sebagai penjamin kebutuhan rakyat terutama dalam hal kesehatan. Negara memiliki prinsip yang kokoh dan faham benar terhadap tanggung jawabnya sebagai pemimpin umat. Sebagai mana dalam hadist
“Pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).

Dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai hal yang sangat fundamental dan bernilai tinggi, karena terkait langsung dengan penjagaan jiwa (hifz an-nafs) salah satu dari lima kebutuhan dasar yang wajib dijaga. Selain kesehatan merupakan amanah dari Allah kesehatan juga merupakan kebutuhan primer. Oleh sebabnya negara faham betul terkait hal ini sehingga negara tidak mungkin mengabaikannya. Bahkan semaksimal mungkin melayani umat.

Bukti bahwa negara sangat serius memperhatikan pelayanan kesehatan bagi rakyat adalah dalam sejarah peradaban Islam. Terdapat dua jenis rumah sakit yang berkembang kala itu, yaitu rumah sakit permanen dan rumah sakit bergerak (mobile hospitals).

Rumah sakit permanen (Bimaristan) merupakan institusi medis besar yang dibangun di tengah-tengah kota. Sedangkan rumah sakit bergerak merupakan pengembangan dari rumah sakit permanen yang dapat berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain sesuai kebutuhan. Rumah sakit bergerak dibangun bukan sekadar sebagai fasilitas tambahan, tetapi sebagai instrumen strategis negara untuk memastikan seluruh rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa hambatan apa pun.

Rumah sakit bergerak ini bertujuan untuk menjangkau wilayah-wilayah yang jauh dari akses pusat kota, seperti padang pasir, lembah, pegunungan hingga desa terpencil. Rumah sakit ini berpindah-pindah menggunakan kendaraan atau transportasi darat maupun laut dengan mengangkut seluruh fasilitas kesehatan yang di butuhkan, termasuk tenaga kesehatan dan obat-obatan.

Dengan begitu sangat dimungkinkan pelayanan kesehatan akan menjangkau rakyat hingga pelosok. Bahkan yang terkategori paling rentan seperti ibu hamil akan memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan dengan mudah, gratis dan memadai. Dan hal ini tidak akan terwujud selain dalam sistem Islam kaffah.

Wallahualam Bissawab.

BACA JUGA :  Masa Depan Air dan World Water Forum
error: Content is protected !!