KENDARI (SULTRAAKTUAL.ID) – Sekretaris Komisi III DPRD Kota Kendari Muslimin T mengungkapkan bahwa posisi camat cukup penting dalam berkontribusi menekan angka stunting. Sebab, camat adalah perangkat pemerintah daerah yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
“Dalam hal penurunan stunting, camat bisa langsung sosialisasi kepada lurah, RT/RW, PKK, kader posyandu, dan sebagainya,” ujar Muslimin saat dikonfirmasi diruangnya belum lama ini.
Berdasarkan data terkini dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 menunjukkan, angka stunting di Kota Kendari masih berada di angka 24,4 persen.
Menurutnya, meski terjadi penurunan, capaian itu belum mencapai target nasional 2025, yakni 18,8 persen. Karena itu, ia mengimbau agar camat meningkatkan intensitasnya untuk sosialisasi pencegahan stunting.

“Camat itu ujung tombak di lapangan, perlu terus sosialisasi penurunan angka stunting di daerah itu,” sambungnya.
Dia mengingatkan bahwa penurunan angka stunting butuh penanganan yang konfrehensif. Tidak hanya balita yang perlu diberi asupan gizi dan ibunya yang harus begini dan begitu tapi sang ayah juga perlu diberi pemahaman.
“Suami juga perlu diberi pemahaman. Sebab, terkadang suami eman beli susu, tapi untuk beli rokok tidak begitu. Padahal biaya beli rokok jauh lebih besar dibanding beli susu,” urainya.
Lalu bagaimana peran UPTD-KB yang ada setiap kecamatan? Menurut Muslimin tidak ada masalah, namun mesti ditingkatkan kualitas kinerjanya.
“Sejauh ini peran UPTD-KB belum maksimal, bahkan aksinya lebih banyak seremonial,” pungkasnya.

Menanggapi hal itu, Camat Puuwatu Sainal Latief mengatakan bahwa, sejauh ini Pemerintah Kecamatan Puuwatu terus berkomitmen dalam menekan angka stunting di daerah itu.
“Salah satu langkah konkret yang kami lakukan adalah memberikan makanan tambahan berupaa sembilan bahan pokok (sembako) kepada keluarga beresiko stunting,” ujarnya, saat dihubungi melalui sambungan telpon, Rabu (12/11/2025).
Aksi ini, menjadi bagian dari gerakan nyata di lapangan dalam upaya percepatan penurunan prevalensi stunting di Kota Kendari.
“Kami membagikan sembako kepada keluarga yang memiliki anak stunting. Ini bukan sekadar kegiatan seremonial, tapi bentuk kepedulian pemerintah dalam memastikan setiap anak di wilayah Puuwatu tumbuh sehat dan tercukupi gizinya,” ujarnya.
Menurutnya, stunting bukan hanya isu kesehatan, tetapi juga menyangkut masa depan generasi bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan multisektor dan kolaboratif, bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga masyarakat.
Langkah lanjutan yang dilakukan Sainal adalah membentuk Kelurahan Ketahanan Pangan di Lalodati sebagai pilot project penanganan stunting berbasis komunitas. Program ini digagas bersama Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan melibatkan kader Posyandu, kelompok Dasawisma, serta Puskesmas Puuwatu.
“Lalodati dipilih karena angka stunting di sana cukup tinggi di awal tahun. Pada Januari hingga Maret 2025, tercatat ada 21 anak yang mengalami stunting. Tapi setelah intervensi lewat edukasi, monitoring gizi, dan program makanan tambahan, jumlah itu turun menjadi 15 kasus pada periode Maret sampai Juni. Ini hasil yang sangat berarti,” jelasnya.
Sainal menyampaikan bahwa kolaborasi yang dibangun bersama BPOM dan puskesmas bukan hanya pada tataran teknis, tetapi menyentuh langsung keluarga sasaran. Edukasi yang diberikan pun disesuaikan dengan kondisi lapangan, mulai dari pemahaman tentang pentingnya asupan gizi seimbang, cara memasak makanan bergizi di rumah, hingga pentingnya sanitasi dan pola asuh yang sehat.
“Kami sangat mengapresiasi Kepala Puskesmas Puuwatu beserta jajaran. Mereka turun langsung, melakukan pendampingan kepada keluarga, mengevaluasi gizi anak-anak, hingga membagikan makanan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan balita. Ini kerja-kerja teknis yang nyata dan sangat membantu,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa keberhasilan menurunkan angka stunting tidak bisa dicapai tanpa keterlibatan semua pihak. Karena itu, pihaknya menggerakkan peran RT, RW, tokoh masyarakat, dan kader kesehatan dalam menyukseskan program ini. Edukasi kepada masyarakat dilakukan secara berkesinambungan, dengan pendekatan persuasif dan partisipatif.
“Stunting itu bukan semata urusan tenaga kesehatan. Keluarga punya peran kunci. Kalau kita tidak ajak masyarakat terlibat, maka edukasi tidak akan sampai ke rumah tangga. Karena itu kami libatkan semua unsur masyarakat, dari RT hingga tokoh perempuan,” tegasnya.
Mantan jurnalis ini juga mengungkapkan bahwa program Kelurahan Ketahanan Pangan yang kini berjalan di Lalodati akan menjadi percontohan bagi kelurahan lain di Kecamatan Puuwatu.
Ia berharap, pendekatan berbasis komunitas yang menekankan edukasi, kolaborasi, dan intervensi langsung dapat direplikasi dan menjadi model efektif untuk mempercepat penurunan stunting secara luas.
“Kami ingin menjadikan Lalodati sebagai model. Dari sini kita bisa belajar bahwa jika semua pihak mau bergerak bersama, angka stunting bisa ditekan secara signifikan. Harapannya, kelurahan-kelurahan lain bisa mengadopsi model ini,” ujarnya.
“Ini bukan kerja satu dua hari, tapi proses panjang yang harus konsisten. Namun hasilnya sangat berarti untuk masa depan anak-anak kita,” tandasnya.








