MUNA BARAT (SULTRAAKTUAL.ID) – Rokok tanpa cukai dan yang menggunakan pita cukai tak sesuai kini beredar bebas di Kabupaten Muna Barat.
Parahnya, rokok-rokok ilegal ini dijual di warung-warung kecil tanpa pengawasan, bahkan menyasar segmen pembeli yang seharusnya paling dilindungi seperti anak-anak dan remaja.
Di balik murahnya harga dan kemasan yang menarik, tersimpan ironi pahit. Di Kecamatan Lawa, seorang warga berinisial JF, menjadi saksi langsung lemahnya pengawasan di lapangan.
Saat hendak membeli rokok, ia mendapati produk mencurigakan beredar tanpa hambatan.
“Saya lihat ada rokok merek LATO isi 20 batang, tapi cuma pakai pita cukai 10 batang. Ini jelas pelanggaran. Tapi yang lebih mengejutkan, rokok itu dijual bebas begitu saja di warung. Siapa yang sebenarnya mengawasi ini semua?,” kata JF, Rabu (16/4/2025) dengan nada kecewa.
JF menegaskan, kondisi ini bukan baru terjadi pagi tadi. Ia telah melihat peredaran rokok serupa dalam beberapa bulan terakhir, namun tak ada satu pun penindakan nyata.
“Rokoknya murah, anak-anak pun bisa beli. Ini bukan cuma soal cukai, tapi soal masa depan generasi kita yang sedang dihancurkan secara pelan-pelan,” katanya prihatin.
Temuan JF bukan kasus tunggal. Ketua Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum Indonesia (AMPHI), Ibrahim, menyebut peredaran rokok ilegal di Muna Barat hanyalah puncak gunung es dari jaringan mafia rokok ilegal yang telah menjangkau pelosok Sulawesi Tenggara.
Menurutnya, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum telah membuka jalan bagi jaringan ini menggurita. Bahkan, Ibrahim menuding ada potensi pembiaran sistemik, atau lebih buruk adanya keterlibatan oknum dalam melindungi distribusi rokok ilegal.
“Kalau masyarakat saja bisa tahu dan lihat rokok ilegal itu dijual bebas, masa aparat tidak tahu? Ini bukan ketidaktahuan, ini pembiaran. Mungkin juga ada yang bermain,” tegasnya.
Ibrahim juga mendesak agar penegakan hukum tidak tebang pilih. Semua pihak berwenang, mulai dari Bea Cukai, kepolisian, Satpol PP, hingga pemerintah desa dan kecamatan, harus ikut bertanggung jawab.
“Kami tidak ingin Bea Cukai saja disalahkan. Semua yang punya kewenangan harus turun tangan. Ini sudah darurat. Anak-anak dijadikan pasar oleh mafia rokok ilegal, dan aparat masih sibuk saling lempar tanggung jawab,” katanya lantang.
AMPHI menegaskan bahwa pelaku distribusi rokok ilegal bisa dijerat dengan Pasal 437 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menyebut ancaman hukuman paling lama lima tahun penjara dan denda hingga Rp500 juta. Namun hingga kini, tidak ada satu pun pengungkapan kasus di Muna Barat terkait pelanggaran ini.
“Undang-undangnya jelas, tapi keberanian aparat menindak justru tidak ada. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kami tidak bisa diam. Ini menyangkut kerugian negara, persaingan usaha yang tidak sehat, dan masa depan generasi muda,” tegas Ibrahim.
Dikonfirmasi terpisah melalui pesan WhatsApp, Mukhlis, Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) TMP C Kendari, memberikan tanggapan singkat.
“Terima kasih informasinya, insyaallah akan kami analisa lebih lanjut,” balasnya.
Namun di lapangan, masyarakat tak bisa hanya berharap pada analisa. Rokok-rokok tanpa cukai terus masuk ke warung-warung kecil, dan makin banyak anak-anak yang mulai terbiasa merokok sejak usia dini karena harganya yang “terjangkau.”