MUNA BARAT (SULTRAAKTUAL.ID) – Ketidakaktifan La Kondo Kepala Desa Lalemba Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Barat, semakin menjadi sorotan.
Warga resah lantaran roda pemerintahan desa diduga kuat diambil alih oleh bendahara desa yang merupakan menantu dari La Kondo sendiri.
Kondisi ini dinilai mengancam tata kelola pemerintahan yang baik dan berpotensi merugikan masyarakat.
Suara-suara sumbang terkait kondisi ini mulai menguat dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu yang paling vokal adalah La Ode Pure, seorang tokoh masyarakat Desa Lalemba, yang mengungkapkan kekhawatirannya atas situasi kepemimpinan di desanya.
“Sudah terlalu lama Pak Desa La Kondo ini tidak aktif. Kantor desa sering kosong, dan kalau ada urusan, yang melayani justru bendahara. Ini kan tidak benar,” ujar La Ode Pure dengan nada prihatin.
Jika situasi ini terus berlanjut, pihaknya merasa khawatir pembangunan desa hingga pelayanan pada masyarakat menjadi terhambat.
“Kami khawatir kalau begini terus, pembangunan desa bisa mandek, dan pelayanan kepada masyarakat juga terganggu,” tambahnya.
La Ode Pure menambahkan bahwa dugaan keterlibatan bendahara yang notabene adalah menantu kepala desa dalam menjalankan tugas pemerintahan desa ini menimbulkan pertanyaan besar di benak warga.
“Ini jelas ada indikasi nepotisme. Bagaimana bisa bendahara, yang seharusnya fokus pada keuangan, malah mengatur semua urusan desa layaknya kepala desa? Ada apa di balik ini semua?” tanyanya.
Menurut La Ode Pure dan beberapa warga lainnya, situasi ini membawa sejumlah dampak negatif yang serius bagi Desa Lalemba.
Menurutnya, potensi penyalahgunaan Anggaran Dana Desa (ADD) tanpa kehadiran Kepala Desa yang aktif dan pengawasan yang efektif, risiko penyalahgunaan Dana Desa sangat tinggi.
“Bendahara yang memegang kendali penuh atas keuangan dan kebijakan desa bisa saja mengalokasikan anggaran tidak sesuai peruntukannya, bahkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” bebernya.
Hubungan kekerabatan antara Kepala Desa dan Bendahara membuka celah besar bagi konflik kepentingan. Keputusan-keputusan penting desa bisa dipengaruhi oleh motif pribadi, bukan demi kemajuan masyarakat. Praktik nepotisme dalam rekrutmen atau proyek desa pun tak terhindarkan.
“Warga kesulitan mengurus administrasi kependudukan, perizinan, atau mendapatkan informasi program desa. Proyek-proyek pembangunan yang seharusnya berjalan sesuai rencana juga terancam mandek atau tidak optimal karena ketiadaan pimpinan definitif yang bertanggung jawab,” tambahnya.
Menurutnya, segala keputusan atau kebijakan yang diambil oleh bendahara tanpa dasar kewenangan yang sah dari kepala desa dapat dianggap cacat hukum. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, termasuk sengketa hukum atau pembatalan program.
“Jika kondisi ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap perangkat desa akan terkikis habis. Hal ini bisa memicu apatisme massal atau bahkan gejolak sosial di tengah masyarakat,” katanya pula.
Ia menilai, jika membiarkan seorang bendahara mengambil alih tugas kepala desa yang sah akan menjadi preseden buruk bagi akuntabilitas dan transparansi pemerintahan desa di wilayah lain.
“Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Muna Barat, khususnya Camat Lawa dan Inspektorat Daerah, untuk tidak menutup mata. Kami butuh klarifikasi dan tindakan tegas. Audit menyeluruh harus dilakukan terhadap pengelolaan keuangan desa dan seluruh kebijakan yang telah diambil selama Kepala Desa tidak aktif. Kembalikan hak-hak masyarakat Desa Lalemba untuk memiliki pemerintahan yang bersih dan transparan,” pintanya.
Masyarakat Desa Lalemba menanti respons cepat dan konkret dari pihak berwenang agar roda pemerintahan desa dapat kembali berjalan normal demi kemajuan bersama.