Oleh : Hasni Tagili S. Pd M. Pd.
(Penulis dan Pemerhati Keluarga)
OPINI (SULTRAAKTUAL.ID) – Nurani masyarakat Kendari terguncang per 22 November 2025. Betapa tidak, dilansir dari Kendariinfo.com (23-11-2025), seorang pria berusia 20 tahun berinisial AD, pengangguran asal Kecamatan Poasia, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus hubungan sesama jenis yang melibatkan seorang pelajar SMA berusia 17 tahun, berinisial Rio (nama samaran).
Peristiwa itu terjadi di salah satu perumahan di Kelurahan Watubangga, Kecamatan Baruga. Menurut pernyataan resmi Kasat Reskrim Polresta Kendari, AKP Welliwanto Malau, AD terjerat Pasal 82 UU Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman 5–15 tahun penjara serta denda maksimal Rp 5 Miliar.
Yang lebih memprihatinkan, polisi mendalami keberadaan sebuah grup bernama “16 Maret” yang diduga menjadi pintu pertemuan pelaku dan korban.
Kasus ini bukan sekadar kriminalitas individu. Ia adalah gejala dari keretakan sosial yang lebih dalam, retakan yang dibiarkan dan tumbuh dalam gelap, lalu akhirnya menjerat anak-anak yang rentan.
Ketika pelaku adalah pria dewasa dan korbannya adalah remaja yang masih duduk di bangku SMA, persoalan ini tidak lagi sekadar penyimpangan personal, tetapi kegagalan sistemik dalam melindungi generasi muda dari perilaku seksual menyimpang dan jaringan digital yang mencemari moral remaja.
Jika kita menautkan potongan-potongan fakta dari pemberitaan, gambaran besar yang tampak jauh lebih mengkhawatirkan. Tidak hanya terjadi tindakan asusila, tetapi ada dugaan jaringan, grup, atau komunitas digital yang mempertemukan pelaku dan korban.
Internet membuka peluang interaksi baru. Sayangnya, tanpa pagar moral yang kuat, ruang digital justru berubah menjadi jalan masuk bagi predator seksual.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
Faktor Penyebab
Pertama, keruntuhan nilai keimanan dan identitas seksual yang tercerabut. Remaja berada pada usia pencarian identitas. Saat keimanan, akhlak, dan bimbingan moral tidak mengakar kuat, remaja menjadi sangat mudah goyah.
Dalam kasus ini, korban bukan hanya korban tindakan asusila, tetapi juga korban lingkungan yang membiarkan ia terpapar pada perilaku menyimpang tanpa memiliki filter moral yang memadai. Padahal, dalam Islam, fitrah manusia itu lurus. Namun, fitrah bisa rusak ketika tidak dipelihara.
Penyimpangan seksual bukan muncul tiba-tiba, tetapi tumbuh perlahan ketika remaja kesepian, tidak menemukan keteladanan di rumah, tidak mendapat pendidikan seks yang benar, dan mencari penerimaan di tempat yang salah. Ia mencari “kedekatan”, tetapi justru terjerat jebakan.
Kedua, ruang digital yang tidak diawasi. Dalam kasus ini, polisi juga mendalami keberadaan “Grup 16 Maret” yang diduga kuat sebagai sarana pertemuan pelaku dan korban. Ini adalah bukti bahwa remaja kita bergerak dalam ruang digital tanpa pengawasan yang memadai.
Grup-grup tertutup di media sosial bisa menjadi tempat grooming (perkenalan predator dengan korban), tempat normalisasi perilaku menyimpang, hingga tempat transaksi seksual.
Keluarga sering kali tidak memiliki pengetahuan digital parenting. Sekolah juga tidak punya kapasitas pengawasan. Negara pun terlambat menyadari bahwa predator seksual kini bergeser dari gang-gang gelap ke layar ponsel.
Ketiga, minimnya kehadiran negara sebagai pelindung generasi. Padahal, negara seharusnya hadir untuk melindungi yang paling rentan yaitu anak-anak dan remaja.
Namun, realitas menunjukkan bahwa pengawasan digital lemah, regulasi pornografi longgar, akses ke konten menyimpang sangat mudah, penanganan kasus predator anak masih lambat dan individual, komunitas-komunitas penyimpangan seksual dibiarkan berkembang. Jika negara hanya bergerak setelah kejadian, tetapi tidak mencegah dari hulu, maka kasus seperti ini akan terus berulang.
Keempat, normalisasi perilaku menyimpang di masyarakat modern. Fenomena LGBT hari ini tidak hanya muncul dari penyimpangan individual, tetapi diperkuat oleh narasi global yang menyebutnya sebagai “orientasi normal”.
Media sosial, film, konten hiburan, hingga influencer secara tidak langsung ikut menormalisasi perilaku ini. Ketika normalisasi masuk ke ruang digital remaja, mereka tidak lagi mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Padahal, Islam mengajarkan bahwa penyimpangan seksual bukan sekadar “pilihan pribadi”, tetapi kerusakan moral yang merusak individu, keluarga, dan masyarakat. Ketika masyarakat membiarkan kemungkaran, maka generasi menjadi korbannya.
Perlindungan yang Menyeluruh
Islam tidak hanya mengecam perilaku penyimpangan seksual. Lebih dari itu, Islam memberikan solusi yang menyeluruh secara individual, keluarga, masyarakat, dan negara. Pertama, mengembalikan keimanan sebagai pelindung moral remaja.
Remaja yang dekat dengan Allah, yang memahami batasan syariat, dan yang tumbuh dengan akhlak yang lurus, tidak mudah terjerumus, maka keluarga harus menjadi pusat pembinaan iman, sekolah harus menguatkan pendidikan akhlak, dan masyarakat harus menjadi lingkungan yang menegakkan nilai-nilai Islam.
Iman bukanlah konsep abstrak. Ia adalah pagar paling kuat dalam menjaga remaja dari kerusakan moral.
Kedua, pendidikan seks yang benar, bukan permisif. Islam memerintahkan orang tua untuk mengajarkan anak tentang batas pergaulan, aurat, bahaya zina, larangan homoseksualitas, dan cara menjaga diri.
Pendidikan ini harus jelas, tegas, dan penuh kasih, bukan dibiarkan samar hingga anak mencari penjelasan di ruang digital yang keliru.
Ketiga, negara wajib hadir melindungi generasi. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab tegas untuk menutup ruang penyimpangan seksual, menghapus komunitas digital yang berbahaya, menghukum predator dengan efek jera, mencegah peredaran konten pornografi, dan memastikan anak mendapat lingkungan aman untuk tumbuh.
Ini bukan sekadar tugas hukum, tetapi tugas peradaban. Begitulah Islam mengajarkan.
Keempat, mencegah kemungkaran sebelum merusak. Islam mengajarkan bahwa kemungkaran tidak boleh dibiarkan, karena ia menular. Masyarakat harus aktif melapor ketika ada dugaan predator, menjaga lingkungan dari perilaku menyimpang, tidak menormalisasi LGBT dalam bentuk apa pun, dan berperan sebagai penjaga moral generasi.
Jika suatu masyarakat membiarkan kerusakan, maka kerusakan itu akan kembali menghancurkan mereka.
Kelima, pemulihan korban secara psikologis dan spiritual. Dalam kasus di atas, polisi memberikan pendampingan psikiater kepada korban selama 14 hari. Ini langkah baik, tetapi belum cukup.
Dalam Islam, korban harus mendapat terapi psikologis, dukungan keluarga, pemahaman iman, dan lingkungan yang memulihkan harga diri. Korban tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi trauma.
Dengan demikian, Islam telah menyediakan solusi yang komprehensif. Tinggal kita, apakah bersedia menjalankan sistem itu atau tidak. Sesungguhnya, melindungi remaja bukan hanya tugas aparat; itu tugas setiap jiwa yang peduli pada masa depan negeri. Jika generasi rusak, maka peradaban pun runtuh. Wallahualam.








