Oleh : Sriyama
OPINI (SULTRAAKTUAL.ID) – Kasus penculikan anak BR yang ramai diperbincangkan karena perpindahan dari Makassar hingga pedalaman Jambi kembali membuka mata kita bahwa kelompok rentan, seperti anak dan masyarakat adat, selalu berada di posisi rawan eksploitasi. Kerentanan mereka sering dimanfaatkan, dan para ahli sudah lama mengingatkan bahwa perlindungan negara terhadap kelompok ini masih sangat minim.
Di lapangan, penelusuran terhadap pelaku utama kejahatan seperti ini sering mandek. Sementara itu, pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak maupun masyarakat adat jauh dari memadai. Kondisi ini membuka peluang terjadinya kasus serupa secara berulang.
Begendang, salah satu anggota Orang Rimba di Jambi, menjadi tempat terakhir BR setelah anak tersebut berpindah tangan sebanyak tiga kali.
“Daripada dibawa ke mana-mana lebih baik kami yang ganti rugi supaya kami rawat seperti anak sendiri. Itu pikiran kami, tidak ada yang lain,” ujar Tumenggung Sikar kepada BBC Indonesia (13/11/2025).
Perdagangan anak bukan sekadar tindakan kriminal individu. Ia adalah kejahatan terorganisasi yang tumbuh subur dalam sistem pemerintahan hari ini yaitu sistem yang memberi celah bagi eksploitasi manusia, termasuk melalui modus adopsi ilegal yang melibatkan jaringan lintas daerah bahkan lintas negara. Karena itu, mustahil memandang kasus seperti ini sebagai kejahatan kecil atau terpisah dari struktur sosial yang melingkupinya.
Yang lebih memilukan, banyak kasus berawal dari keputusasaan ekonomi orang tua. Kemiskinan struktural yang mencengkeram masyarakat bukan muncul dengan sendirinya, ia adalah produk sistem ekonomi kapitalisme. Di bawah sistem ini, kekayaan negara terkonsentrasi di tangan segelintir pemilik modal, sementara rakyat dipaksa bertahan hidup tanpa jaminan kesejahteraan. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak dan lapangan kerja tak tersedia, sebagian orang tua akhirnya mengambil keputusan ekstrem, meski melanggar hukum.
Ironisnya, sistem kapitalisme justru hanya menjerat pelaku lapangan dengan UU Perlindungan Anak atau UU TPPO. Negara berhenti pada penangkapan individu, lalu mengklaim kasus telah selesai padahal akar masalah seperti kemiskinan, ketimpangan, dan lemahnya perlindungan negara sama sekali tidak disentuh. Sementara itu, kebebasan kepemilikan ala kapitalisme memberi ruang bagi korporasi besar menguras sumber daya rakyat atas nama investasi, membuat masyarakat semakin terjepit.
Ketika negara lebih sibuk melayani kepentingan pemodal ketimbang menjamin kesejahteraan rakyatnya, wajar bila rakyat kecil hanya menjadi angka statistik tanpa perlindungan. Ruang seperti inilah yang akhirnya membuka peluang bagi perdagangan anak untuk tumbuh subur.
Maka, maraknya perdagangan anak bukan semata persoalan moral. Ia terkait langsung dengan penerapan sistem kapitalisme yang merusak, melemahkan ketahanan keluarga, dan menyediakan lahan ideal bagi jaringan kriminal untuk bergerak bebas.
Sudah sepatutnya negara melakukan pembenahan mendasar. Negara harus hadir sebagai penjamin kebutuhan dasar rakyat bukan sekadar regulator. Ia wajib menjamin keadilan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat, tanpa kompromi.
Semua itu hanya dapat diwujudkan melalui sistem yang menempatkan negara sebagai pelayan dan pelindung rakyat, bukan sebagai penyedia karpet merah bagi pemilik modal. Dalam Islam, negara khilafah memiliki fungsi tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari–Muslim)
Karena itu, tanggung jawab negara dalam Islam tidak berhenti pada penangkapan pelaku. Negara wajib memastikan kondisi sosial dan ekonomi yang mencegah kejahatan sejak awal. Generasi dididik dengan aqidah Islam agar memiliki kepribadian kuat, tidak mudah terpengaruh budaya hedonisme, materialisme, atau liberalisme, budaya yang melihat manusia sebagai komoditas. Allah SWT pun dengan tegas melarang segala bentuk kezaliman dan eksploitasi:
“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Pendidikan berbasis aqidah Islam inilah yang menutup celah munculnya perilaku menyimpang, baik dari orang tua, perantara, maupun jaringan kriminal.
Selain itu, Islam menetapkan sanksi tegas melalui hukum ta’zir yang ditentukan oleh pemimpin negara sesuai tingkat bahaya dan kemudharatannya. Mekanisme ini memberikan efek jera nyata dan mencegah jaringan kejahatan berkembang, karena penyelidikan tidak dibiarkan berhenti pada satu-dua pelaku saja.
Dalam aspek ekonomi, negara Islam menerapkan sistem ekonomi yang memastikan tidak ada keluarga terjerumus dalam kemiskinan ekstrem. Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan ditanggung negara melalui pengelolaan harta milik umum, bukan diserahkan kepada korporasi seperti dalam sistem kapitalisme.
Negara juga menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi laki-laki sebagai penanggung nafkah keluarga sehingga tekanan ekonomi tidak menjadi pemicu kejahatan. Dengan mekanisme yang sempurna ini, negara Islam tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga mencegah lahirnya akar masalah yang memicu perdagangan anak.
Wallahu a’lam bisshawab.








