Berawal dari kejadian pada hari minggu 17 Maret 2024 sekitar pukul 22.30 WITA, bertempat di Desa Lohia, Kec. Lohia Kab. Muna, telah terjadi dugaan tindak pidana persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap Anak di bawah umur.
Dalam perkembangannya pelaku inisal AW (17 tahun) tersebut di tetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP. Sidik/122/III/2024/Sat Reskrim tanggal 20 Maret 2024.
Tersangka AW di duga telah melanggar pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 sebagaimana di ubah dan di tambah dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Subs.
Pasal 82 Ayat (1) Jo. Pasal 76 E Undang-undang RI Nomor Nomor 35 tahun 2014 sebagaimana di ubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Pada tanggal 3 April 2024, berkas perkara dari kepolisian di nyatakan lengkap (P21) dan tersangka anak AW di limpahkan ke Kejaksaan Negeri Muna, Pada saat pelimpahan, Kejaksaan Negeri Muna Tidak Melakukan Penahanan, dengan dasar pertimbangan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Mengenai Permohonan Penangguhan Penahanan, Namun Kejaksaan Negeri Muna Yang Menangani Perkara Tersebut Tidak Mempertimbangkan PASAL 32 AYAT (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang Pada pokoknya Menyatakan Penahanan Anak dapat di Lakukan dengan syarat Anak Telah Berumur 14 (empat belas) Tahun dan Ancaman Pidananya di atas 7 Tahun. Bila melihat berdasarkan Fakta di Kepolisian bahwa Tersangka AW telah berumur 17 Tahun dan Ancaman Pidananya di atas 7 tahun.
Bahwa atas tidak di tahannya Tersangka AW melalui Penasihat Hukum Korban MENDUGA ADA YANG MENJANGGAL. Kemudian Selaku Penasihat Hukum Korban melakukan Upaya dengan memasukan Surat di Pengadilan Negeri Raha dengan Perihal Permohonan Agar Tersangka AW di Tahan Pada saat Pelimpahan di Pengadilan Negeri Raha, dan Saat itu Surat tersebut di ACC dan Tersangka AW di tahan.
Kemudian pada hari senin tanggal 29 April 2024, dengan Agenda Pembacaan tuntutan Jaksa MENUNTUT TERSANGKA AW PIDANA PENJARA 9 BULAN, selaku Penasihat Hukum Korban sangat Kecewa dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Tersangka AW pidana penjara 9 bulan.
Yang seharusnya Jaksa penuntut umum sebagai pengacara negara untuk Korban yang menegakkan hak-hak korban, akan tetapi tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada Korban.
Secara Yuridis Tersangka AW melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak yang Ancaman Pidananya Minimal 5 Tahun Pidana Penjara dan Maximum 15 Tahun Pidana Penjara. Karena Pelakunya ANAK, maka Maximum Pidana Penjara 10 tahun hal tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan Pidana Anak.
Artinya menurut hemat penulis bahwa seharusnya JPU menuntut Tersangka AW minimal 5 tahun pidana penjara melihat dari segi umur AW telah berumur 17 Tahun hal tersebut berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Huruf e. Dalam Tuntutan JPU sangat merugikan Korban, menurut hemat penulis dalam tuntutan JPU tidak memberikan Rasa Keadilan dan Kepastian Hukum kepada Korban.
Artinya anak sebagai korban tidak mendapatkan keadilan sesuai ketentuan yang berlaku, dimana seharusnya anak pelaku diberikan sanksi pidana agar memberikan penderitaan (nestapa) sebagai pelaku tindak pidana meskipun pelaku terkategori sebagai anak yang butuh perlindungan hukum.
Selain itu, menurut hemat penulis Tuntutan JPU pidana Penjara 9 Bulan terhadap Anak Berhadap dengan Hukum AW sebagai mana telah diuraikan diatas sangat bertentangan dengan hati nurani dan mencederai rasa keadilan hukum Indonesia. Sehingga tujuan hukum yaitu adanya keadilan hukum tidaklah tercapai.