Opini

Mencari Solusi Tuntas Perundungan

×

Mencari Solusi Tuntas Perundungan

Sebarkan artikel ini
Yuni Damayanti

Oleh : Yuni Damayanti (Pemerhati Sosial Kabupaten Konawe)

OPINI (SULTRAAKTUAL.ID) – Miris seorang santri, A. Muhammad Rizki Malik, yang mondok di Pesantren al- Islam Meeto, Kecamatan Kodeoha, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, mengalamai luka bakar serius yang dilakukan oleh seniornya.

Kejadian ini viral usai akun Ilmu Tani memposting di facebook kondisi korban yang tengah mendapatkan penanganan medis di Rumah Sakit Djafar Harun Lasusua. Kejadiannya pada hari jumat pagi (11/4/2025) dimana senior melakukan bullying kepada adek juniornya dengan cara membakar tubuhnya, (telisik, 11/4/2025).

Kasus Bullying seperti ini terus berulang dan pelakunya adalah anak-anak, jika kita perhatikan perbuatanya pun makin sadis. Sesungguhnya ini semua hanyalah dampak. Akar masalahnya adalah akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Asas sekularisme telah mencabut nilai-nilai moral dan agama. Asas ini akhirnya melahirkan liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, termasuk kebebasan bertingkah laku sehingga aturan agama makin terpinggirkan.

Sekolah sebagai institusi pendidikan, alih-alih mampu mencetak peserta didik yang berkualitas, kurikulum sekuler kapitalisme yang diterapkan—tanpa memperhatikan aspek spiritual atau agama—justru melahirkan remaja yang banyak masalah. Belum lagi aturan dan kebijakan penguasa yang kental dengan liberalisme, tidak memperhatikan nilai-nilai agama memberi andil besar makin maraknya kasus ini.

Jelaslah bahwa persoalan mendasar penyebab perundungan adalah persoalan yang bersifat sistemis, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan.

Telah nyata bahwa sistem sekuler kapitalisme merupakan sistem rusak dan merusak, menggiring manusia pada keburukan dan kenestapaan tanpa pandang bulu. Orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak, semua menjadi korbannya.

Sudah seharusnya kita membuang sistem rusak seperti ini dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem kehidupan yang datang dari Allah Taala, tidak lain adalah sistem Islam.

Bagaimana Sistem Islam Mengatasi Perundungan?

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, sistem Islam (Khilafah) yang menjadikan akidah Islam sebagai asas, memiliki aturan yang sangat terperinci dan sempurna. Islam telah menetapkan bahwa selamatnya anak dari segala bentuk kezaliman ataupun terlibatnya mereka dalam perundungan bukan hanya tanggung jawab keluarga dan lingkungan masyarakat. Negara juga memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam mewujudkan anak-anak tangguh berkepribadian Islam sehingga senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, termasuk perundungan.

Benar bahwa Islam telah memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga anak tamyiz, juga kewajiban pendidikan anak kepada ayah ibunya. Akan tetapi, hal ini tidak cukup. Terwujudnya lingkungan kondusif di tengah masyarakat menjadi hal penting bagi keberlangsungan kehidupan anak.

Lingkungan masyarakat yang baik akan menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Tidak kalah penting adalah adanya peran negara. Negara Islam bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara utuh dalam rangka mengatur seluruh urusan umat. Umat pun mendapat jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh.

BACA JUGA :  Calon Tunggal Vs Kotak Kosong Sama Dengan Partai Politik Lawan Suara Rakyat

Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan solusi perundungan hanya akan terwujud dengan tiga pilar sebagai berikut,

Pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Hal ini akan mendorong setiap individu untuk senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Keluarga juga dituntut untuk menerapkan aturan Islam di dalamnya. Aturan inilah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan dengan bekal ketakwaannya.

Kedua, kontrol masyarakat. Hal ini akan menguatkan hal yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga. Kontrol ini sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai tindakan brutal dan kejahatan yang dilakukan anak-anak. Budaya beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, serta tidak memberikan fasilitas sedikit pun dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, akan menentukan sehat tidaknya sebuah masyarakat sehingga semua tindakan kriminalitas apa pun dapat diminimalkan.

Ketiga, peran negara. Negara Islam wajib menjamin kehidupan yang bersih bagi rakyatnya dari berbagai kemungkinan berbuat dosa, termasuk perundungan. Caranya dengan menegakkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara juga wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam yang andal sehingga terhindar dari berbagai perilaku kasar, zalim, dan maksiat lainnya. Negara pun harus menjamin terpenuhi pendidikan yang memadai bagi rakyatnya secara berkualitas dan cuma-cuma.

Selain itu, negara akan menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusak dan melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim, seperti peredaran minuman keras, narkoba, termasuk berbagai tayangan yang merusak di televisi atau media sosial.

Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang secara sempurna dapat melindungi anak dan yang mampu mengatasi persoalan perundungan. Ini semua hanya akan terealisasi jika aturan Islam diterapkan secara totalitas dalam sebuah institusi negara, yaitu Khilafah Islamiah.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).

Bagaimana Sanksi bagi Anak-Anak Pelaku Perundungan?

Negara Islam sebagai pelaksana utama diterapkannya syariat Islam, berwenang untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku tindak kejahatan. Lalu, bagaimana sanksi dari negara Islam kepada pelaku perundungan?

Anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal (jarimah), misalnya mencuri, melakukan pengeroyokan (tawuran), perundungan secara fisik, dan sebagainya, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah), baik hudud, jinayah, mukhalafat, maupun takzir. Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf, sedangkan syarat mukalaf adalah akil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).

Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tidak dapat dihukum adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud). Yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf. (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/36).

BACA JUGA :  Menyelesaikan Konflik Agraria di Konawe Selatan : Keadilan yang Tak Bisa Ditunda

Walakin, perlu diketahui, dalam pandangan syariat, anak di bawah umur adalah anak yang belum balig (dewasa). Adapun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig (‘alamat al-bulugh) sebagaimana ditetapkan syariat, berarti ia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. Sanksi yang dijatuhkan bagi orang yang menyakiti organ tubuh atau tulang manusia adalah diat.

Rasulullah saw. bersabda, “Pada dua biji mata, dikenakan diat. Pada satu biji mata, diatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diat penuh.” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat).

Oleh karenanya, jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), ia tidak dapat dihukum. Jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itulah yang dijatuhi sanksi.

Namun, jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum. Namun, negara akan melakukan edukasi terhadap wali dan anak yang melakukan pelanggaran tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).

Ibrah pada Masa Rasulullah SAW.

Ada sebuah peristiwa pada masa Rasulullah saw. terkait masalah perundungan yang selayaknya kita jadikan pelajaran. Suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari dan Bilal bin Rabah berselisih paham. Saat sedang bertengkar, Abu Dzar keceplosan mengucapkan, “Dasar, kulit hitam!”

Bilal sangat tersinggung mendengar ucapan itu. Ia kemudian datang kepada Rasulullah saw. dan mengadukan kegalauannya. Mendengar hal itu, rona wajah Rasulullah saw. berubah dan bergegas menghampiri Abu Dzar, lalu berkata kepadanya, “Sungguh, dalam dirimu masih terdapat [sifat] jahiliah!”

Mendengar peringatan Rasulullah saw. tersebut , Abu Dzar menangis dan memohon ampun kepada Allah Taala. Ia menyesal dan berjanji di hadapan Rasulullah saw. untuk tidak mengulanginya dan segera memohon maaf kepada Bilal.

Abu Dzar pun mendatangi Bilal lalu tersungkur bersujud dan memohon Bilal untuk menginjak wajahnya. Ia menempelkan pipinya di atas tanah. Berulang kali Abu Dzar memohon agar Bilal menginjak wajahnya. “Injaklah wajahku, wahai Bilal! Injak wajahku! Injak wajahku, Bilal! Demi Allah, injaklah wajahku, wahai Bilal! Aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan mengampuni sifat jahiliah dari jiwaku!”

Namun, Bilal tetap berdiri kukuh pada tempatnya, bahkan Bilal menangis mendapati Abu Dzar sedemikian terpukulnya. Bilal pun berkata, “Semoga Allah mengampunimu, Abu Dzar. Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di muka yang penuh cahaya sujud pada Allah.” Keduanya lalu menangis dan akhirnya berpelukan, Wallahu a’lam bisshowab.

error: Content is protected !!