BERITA

Masyarakat Pesisir Morowali Desak PT IGIP Berdayakan Warga Lokal dan Tunaikan Komitmen

×

Masyarakat Pesisir Morowali Desak PT IGIP Berdayakan Warga Lokal dan Tunaikan Komitmen

Sebarkan artikel ini
Irfan Mualim bersama Forum Komunikasi Keluarga Besar Pesisir Kepulauan Kabupaten Morowali mendesak PT IGIP untuk segera merealisasikan komitmennya kepada masyarakat, Jumat (12/9/2025).

MOROWALI (SULTRAAKTUAL.ID) – Di balik gemerlap industri nikel yang menjanjikan kemajuan, tersimpan sebuah narasi yang tak terucap. Kisah pilu masyarakat pesisir kepulauan Kabupaten Morowali merasa terasing di tanah sendiri.

Kedatangan perusahaan raksasa, PT IGIP yang notabene merupakan kolaborasi PT GEM, Vale Indonesia, dan Danantara Indonesia, seharusnya membawa angin segar, namun yang mereka rasakan justru sebaliknya.

Ini bukan hanya soal ekonomi atau lingkungan, ini tentang kemanusiaan. Tentang janji yang melayang, tentang harapan yang menguap, dan tentang hak-hak dasar yang terabaikan.

Olehnya itu, Forum Komunikasi Keluarga Besar Pesisir Kepulauan Kabupaten Morowali, kini menyuarakan jeritan hati dan melakukan unjuk rasa di PT IGIP, Jumat (12/9/2025).

Koordinator aksi, Irfan Mualim mengungkapkan pihaknya tidak menolak pembangunan, tapi menuntut keadilan.

“Kami ingin menjadi bagian dari kemajuan, bukan sekadar penonton di kampung halaman sendiri,” teriak Irfan.

Aksi Keluarga Besar Pesisir Kepulauan Kabupaten Morowali menyoroti beberapa poin krusial yang menggambarkan ketidakseimbangan antara kepentingan industri dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Irfan mengatakan isu-isu ini tidak hanya sekadar keluhan, melainkan cerminan dari dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat.

Misalnya, lanjut Irfan, keterlibatan tenaga kerja lokal yang tak berkeadilan.

“Salah satu tuntutan paling mendesak adalah perihal ketenagakerjaan. Kami merasa proses rekrutmen tidak transparan. Ajang job fair yang diadakan perusahaan beberapa waktu lalu, kami nilai hanya formalitas, tanpa ada sosialisasi dan konsultasi yang memadai,” ungkap Irfan.

Menurutnya, warga lokal seringkali hanya ditempatkan pada posisi pekerja lapangan yang minim jenjang karier, sementara jabatan strategis justru didominasi oleh pendatang.

Hal ini nilai dia, menciptakan kesenjangan struktural yang menghambat pertumbuhan warga lokal.

“Oleh karena itu, kami meminta perusahaan untuk membuka jalur pembinaan khusus bagi warga lokal agar mereka bisa ditingkatkan kapasitasnya. Sebagaimana telah disepakati oleh PT Anugerah Tambang Industri (ATI) dengan masyarakat dan pemerintah Kabupaten Morowali pada 30 Januari 2023,” kata Irfan.

Dia juga meminta agar perushaan menerapkan kebijakan afirmatif,l yaitu memberikan prioritas bagi pelamar lokal, memastikan minimal 50 persen dari seluruh tenaga kerja berasal dari masyarakat lokal sebagai bentuk komitmen nyata.

Irfan bilang, keberadaan perusahaan raksasa seharusnya menjadi katalisator bagi ekonomi lokal, bukan mematikan.

“Namun, kenyataan, seperti pengemudi mobil rental, outsourcing, dan pemilik kios, merasa terpinggirkan. Operasional perusahaan seringkali menggunakan jasa dari luar daerah, membuat warga lokal hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri,” katanya.

Ini bukan semata soal ekonomi, kata dia, melainkan juga tentang penghormatan. Melibatkan pengusaha lokal adalah cara untuk menghargai mereka sebagai tuan rumah.

“Pemberdayaan mereka bukan hanya akan mendongkrak ekonomi masyarakat, tetapi juga menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan saling menguntungkan,” paparnya.

Tak hanya itu, lanjutnya, dampak lingkungan menjadi perhatian serius. Warga mengeluhkan polusi debu dari lalu lintas kendaraan perusahaan yang tidak terkendali.

“Penyiraman jalan yang tidak merata membuat debu beterbangan, mengganggu kenyamanan dan memicu masalah kesehatan. Bahkan debu semen yang berasal dari batching plant juga dirasakan dampaknya oleh masyarakat sekitar,” ungkapnya.

Begitu juga dengan sampah dan limbah konstruksi, yang dibuang ke laut mencemari ekosistem pesisir. Hal tersebut mengancam mata pencaharian nelayan dan kesehatan masyarakat.

“Pencemaran ini adalah luka yang nyata bagi laut kami, sumber kehidupan dan budaya masyarakat dan pesisir. Oleh karena itu, kami menuntut pertanggungjawaban perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, bukan sekadar janji di atas kertas,” ungkap Irfan.

Selain itu, masyarakat juga meminta pemberian kompensasi dan ganti rugi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan, seperti dampak debu (pencemaran udara), dampak kebisingan, dampak pencemaran laut, dampak banjir (bagi masyarakat terkena dampak).

Mereka pun menilai PT IGIP membetikan janji palsu terkait pembangunan pasar bagi masyarakat.

“Janji pembangunan pasar yang sudah lama dilontarkan belum juga terwujud, menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan warga. Bahkan lokasi rencana pembangunan pasar dijadikan sebagai tempat cetakan gorong-gorong leter U,” ungkapnya.

Selain itu, program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dijalankan dianggap seremonial dan tidak menyentuh akar permasalahan sosial-ekonomi yang ada.

Program CSR yang efektif harusnya mampu menciptakan dampak nyata dan berkelanjutan, bukan sekadar acara formalitas.

Kami menuntut perusahaan untuk :

* Segera merealisasikan pembangunan pasar.

* Mendesain ulang program CSR agar lebih tepat sasaran dan menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Disamping itu, pendidikan adalah investasi masa depan. Namun, warga merasa perusahaan belum menunjukkan komitmen konkret untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia lokal.

Kami meminta adanya program beasiswa khusus bagi anak-anak di wilayah pemberdayaan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Memberikan beasiswa adalah bentuk investasi jangka panjang yang tidak hanya akan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi juga bagi perusahaan sendiri. Dengan menciptakan sumber daya manusia lokal yang berkualitas, perusahaan akan memiliki calon tenaga kerja yang andal di masa depan.

Persoalan sampah juga menjadi perhatian masyarakat. Harusnya IGIP segera mencari cara bagaimana agar sampah-sampah tersebut dapat teratasi. Sebab, jumlah sampah yang banyak saat ini, adalah dampak atau efek masuknya tenaga kerja yang berkerja di perusahaan tersebut.

Sampah-sampah yang ada, hanya dibuang pada tempat sembarang. Tidak ada tempat khusus. Padahal sampah, bisa menjadi salah satu pemicu munculnya penyakit.

Begitu juga dengan persoalan air bersih. Dulu, warga Desa Sambalagi punya sungai bernama BOKULU (Buah Sukun), sebagai sumber utama air bersih bagi masyarakat. Namun, setelah perusahaan masuk, sungai tersebut diambil sepenuhnya.

Hal tersebut, membuat masyarakat Sambalagi kehilangan satu-satunya sumber mata air.

Meski perusahaan sempat membuatkan bendungan air bersih, namun sampai kini bendungan itu tak berjalan efektif. Pemilik lahan tempat bendungan itu, sudah tidak membolehkan lagi penggunaan lahannya.

Karenanya, kami menuntut IGIP segera mencarikan solusi persoalan air bersih tersebut.

“Surat pernyataan sikap ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah ultimatum damai. Ini adalah seruan agar perusahaan melihat masyarakat lokal bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai mitra strategis dalam pembangunan,” ujar Irfan.

“Kami berharap PT IGIP mengambil langkah konkret untuk menindaklanjuti tuntutan ini. Jika diabaikan, maka bakal kami lakukan gerakan yang lebih besar lagi,” tambahnya.

BACA JUGA :  Pemda Konsel Terima Bantuan Hibah Mobil dari Kementerian Perhubungan RI
error: Content is protected !!