Oleh : Rima Septiani, S.Pd (Pendidik)
OPINI (SULTRAAKTUAL.ID) – Data yang dipublikasikan Kompas 8 Oktober 2025, menunjukkan kenyataan mengejutkan. Sekitar seperlima anak Indonesia atau 20,1 persen (15,9 juta anak), tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau mengalami kondisi yang dikenal sebagai fatherless.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin persoalan mendalam dalam struktur keluarga dan budaya kerja di Indonesia yang sering menempatkan ayah sebagai sosok pencari nafkah semata, bukan pendidik emosional dan teladan utama bagi anak-anaknya.
Fatherless, Buah Kehidupan Kapitalistik Sekuler
Menurut KBBI, keluarga diartikan sebagai orang yang memiliki hubungan darah, hubungan kekerabatan yang mendasar pada masyarakat, terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu dan juga anak.
Ayah selaku orang tua mempunyai peranan penting dalam tumbuh kembang anak, terutama dalam membesarkan anak. Sosok ayah sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab secara primer terhadap kebutuhan finansial keluarga. Seperti mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga. Namun alasan tersebut tidak menghalagi peran ayah sebagai sosok yang sangat dibutuhkan dalam mendidik anak. Peran ayah yang bertugas menyedikan keuangan, menyediakan makan dan pakaian, serta rumah dan isinya dari sumber yang halal, tidak menafikkan keterlibatan seorang ayah untuk mengasuh anak secara langsung.
Peran seorang ayah dalam mendidik anak sama pentingnya dengan peran ibu, namun anak-anak Indonesia banyak yang tumbuh dalam kondisi fatherless. Anak yang secara biologis punya ayah, tapi seakan tidak punya, adalah krisis yang makin banyak terjadi hingga saat ini bahkan dalam rumah tangga yang masih utuh.
Beberapa dekade terakhir isu fatherless atau ketidakhadiran peran ayah dalam keluarga telah menjadi topik yang mendapat perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data UNICEF, sekitar 20,9% anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran atau peran seorang ayah. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat peningkatan angka perceraian di Indonesia, dengan total 516.334 kasus pada tahun 2022 naik 10,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Tren ini telah berlanjut selama lima tahun terakhir, menjadikan perceraian sebagai salah satu penyebab utama hilangnya figur ayah dalam kehidupan anak-anak. Selain perceraian, fenomena fatherless juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kematian, atau pekerjaan ayah yang mengharuskan mereka berada jauh dari keluarga.
Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan, 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun.
Menurut data, Indonesia menempati urutan ketiga fatherless country dalam pengasuhan anak. Kita pasti bertanya-tanya, mengapa isu fatherless kian populer?.
Fatherless dilatarbelakangi secara dominan oleh sebab kesibukan mencari nafkah dan ketidakhadiran sosok ayah sebagai pendidik. Kondisi ini lahir dari sistem hidup kapitalistik, para ayah tersisa waktunya untuk memenuhi kebutuhan nafkah. Sehingga waktu untuk membersamai anak minim.
Fenomena fatherless kian banyak bukan muncul dari sebuah ruang hampa. Sistem kehidupan berbasis kapitalistik sekuler tak hanya membuat anak-anak tumbuh tanpa kehadiran ayah (fatherless) tapi banyak juga yang motherless.
Isu fatherles sebagian disebabkan faktor ekonomi, tidak lepas juga dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan kesenjangan ekstrem antara kaya dan miskin.
Tidak adanya peran ayah karena ia hanya hadir secara fisik dan tidak terlibat dalam masalah tumbuh kembang anak. Indikasi tersebut didasarkan pada jumlah waktu yang dihabiskan ayah untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Semakin sedikit waktu berkomunikasi dengan anak, maka semakin kuat kondisi fatherless.
Padahal seorang ayah memiliki tanggung jawab dan peran yang sama dengan seorang ibu terkait dengan pendidikan yang diberikan kepada anak di lingkungan keluarga. Kehadiran ayah sangat penting dalam menciptakan keluarga harmonis sesuai nilai nilai Islam seperti kasih sayang, peduli, mencintai anak, membimbing, melindungi dan menanamkan aturan Islam yang akan membentuk kepribadian sang anak.
Islam Menyolusi Masalah Fatherless
Islam agama yang sempurna (kamilan) dan menyeluruh (syamilan), tidak hanya mengurus masalah ibadah ritual. Dari perkara kecil seperti bangun tidur sampai ke perkara urusan keluarga dan rumah tangga Islam mengaturnya. Dalam pandangan Islam perkara kewajiban dalam rumah tangga dan mengurus anak menjadi kewajiban bersama. Baik suami maupun istri Islam memberikan porsi perannya masing-masing sesuai dengan yang telah diatur oleh syariat. Dalam urusan keluarga, Islam memberikan perhatian penuh. Sebab, keberhasilan membangun sebuah peradaban gemilang berada di generasi para pemudanya, dan keberhasilan mendidik generasi berkualitas, tangguh dan bersyakhsiyah Islam berawal dari keluarga. Dan disinilah Islam memaksimalkan peran orang tua.
Islam menekankan keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Bahkan ayah harus lebih aktif terlibat dalam mendidik dan berinteraksi dengan anak. Kolaborasi peran orang tua dalam mendukung dan melengkapi kebutuhan sang anak sangat penting untuk membentuk keluarga sesuai nilai-nilai Al-Qur’an.
Untuk itulah dalam Islam menelantarkan anak adalah dosa besar. Anak adalah amanah yang harus dijaga dan dijamin kesejahteraannya. Dalam Islam, kewajiban memberi nafkah, mengasuh, mendidik anak tetap berlaku meskipun terjadi perceraian. Penegasan hukum ini dapat memberikan kesadaran bagi para ayah yang lalai.
Lebih dari itu, negara akan mensuport peran ayah dengan membuka lapangan kerja dengan upah yang layak, memberikan jaminan kehidupan sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak. Negara akan menerapkan kebijakan ekonomi Islam dan membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, hal ini sebagai bentuk pemeliharaan umat terkait nafkah kepala keluarga bagi keluarganya. Negara harus memastikan tidak ada rakyatnya yang kekurangan, bagi orang yang cacat dan sakit kehidupannya akan ditanggung oleh negara sampai mereka mampu untuk menafkahi hidup mereka sendiri.
Inilah bentuk tanggung jawab kepala negara dalam mengurus segala urusan warga negaranya (ri’ayah syu’unil ummah). Sebab dalam Islam, kepala negara bukan sekedar pemangku jabatan dan kekuasaan, pemimpin negara dalam Islam harus mempunyai keimanan dan ketakwaan terhadap Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT.
Itulah mengapa, dalam sejarah kegemilangan Islam tidak ditemukan anak yang mengalami kondisi fatherless. Lebih dari tiga belas abad lamanya, sistem Islam dipraktikkan dan berhasil menyejahterakan manusia.








